HUJAN dan WANITA BERKERUDUNG SENJA

Sebuah Narasi : Peluh Malam Datang

Tampaknya sudah dimulai
Sebuah kisah penuh tantangan itu
Ketika mata mereka saling bertatap rapat
Terdengar aneh, tapi menyenangkan

Harum parfum bercampur peluh
Nampak di kening itu
Bukti perjuangan dengan asah
Untuk mu yang di sana
Di ruang sempit nan pengap
Tempat dimana Ku rebus air walau hanya sebagai penyeduh mie instan yang ku beli di swalayan tadi
Tentunya dengan dia
Lapar

Teringat pesan dari seorang teman di sana
Namun tak mampu membendung itu
Ya..... itu
Iya.....Benar
Ku coba memandang sangat dalam
Dalam sebuah coretan pertama
Untuk mengulangi kata pada pesan singkat kemarin
Khusus dia....

Penuh ke hati-hatian
Untuk membuka sebuah pintu yang lama terkunci
Terkunci sangat lama
Karena dia begitu indah
Indah bukan nama orang tapi kata sifat
Sifatnya....

Devian dulu, kini menjadi pintu cakrawala
Karena perilaku busuk orang terhina
Devian kini menjelma menjadi bunga mawar berduri lebat
Se lebat pikiran dalam otaknya
Pikiran masa lalu bingkai rapi di dinding kehidupan
Karena nya bukan untuknya

Satu jam berlalu
Aliran suhu badan mulai agak menurun
Ingat, menurun bukan meninggi
Karena jelas tak sama

Dua jam kemudian
Terlihat gerak halus dalam otak kecil ku
Yang pernah ku rasakan dulu
Dulu ketika masih jamannya

“pementasannya sudah selesai, air sudah mendidih”
Celetuk ku memecah keheningan
Melanjutkan, Aku bertanya “apakah begitu juga dengan jawabannya”
Jelas jawaban untuk sebuah pertanyaan
Pertanyaan ku kemarin malam

Dengan pasti, hidung pesek dan senyum manis itu menjawab
“Iya”
Dia ulangi
“Iya...iya”
Aku minum setenggak air putih
Dan dia berkata lagi
“Iya”

Dan mulailah adegan inti itu
MAKAN
Karena lapar untuk kenyang
MINUM
Karena haus untuk.... ????

Setelah itu konflik terjadi
Peperangan pun tak terelakan
Tembakan beruntun tepat pada sasaran
Tangis lirih mulsi terdengar sampai di telinga

Kebingungan mulai hadir pasca peperangan
Berharap masih ada tanda kehidupan di sekitarnya
Namun tak di temukan
Karena penuh desak mayat dalam arena itu

Sejak itu aku bertekad selalu berkata
Cacut Tali wondo
Rawe-rawe Rantas, Malang-malang Putung

Saat itu
Aku Nurut ana Kidung, Luput ana Gendongan
Maafkan Aku..........


Malang, 24 April 2014
Wisnoe Korek

Komentar